Kecaman internasional berkembang setelah pemerintah yang dipimpin militer Myanmar mengeksekusi empat aktivis anti kudeta. Eksekusi ini merupakan yang pertama di Myanmar dalam beberapa dekade. Berdasarkan laporkan surat kabar Global New Light of Myanmar, Junta menyebut empat aktivis yang dieksekusi membantu melakukan aksi teror brutal dan tidak manusiawi.
Namun, laporan tersebut tidak merinci bagaimana empat aktivis itu terbunuh. Disebutkan, pemerintah Junta mengonfirmasi situasinya "sebagaimana dinyatakan di media pemerintah". Pada Senin (25/7/2022), Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Yangon mengatakan bahwa aktivis terkemuka Kyaw Min Yu (53), mantan legislator Phyo Zeya Thaw (41), dan mantan pengunjuk rasa Hla Myo Aung, serta Aung Thura Zar dieksekusi karena melakukan kebebasan fundamental mereka.
Phyo Zeya Thaw, mantan legislator dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, telah ditangkap pada November dan dijatuhi hukuman mati pada Januari karena pelanggaran di bawah undang undang anti terorisme. Aktivis demokrasi Kyaw Min Yu – lebih dikenal sebagai “Jimmy” – juga menerima hukuman yang sama dari pengadilan militer. Kedua pria itu telah kalah banding terhadap hukuman pada bulan Juni. Sedikit yang diketahui tentang Hla Myo Aung dan Aung Thura Zar, yang dihukum pada bulan April karena diduga membunuh seorang wanita yang dituduh sebagai informan militer.
Seorang pejabat di Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok aktivis, mengatakan kedua pria itu berasal dari Yangon dan telah terlibat dalam protes dan gerakan perlawanan sejak pengambilalihan militer. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Senin (25/7/2022) mengecam eksekusi sebagai "tercela". Blinken mengatakan, pembunuhan itu tidak akan menghalangi gerakan demokrasi.
“Tindakan kekerasan yang tercela ini lebih lanjut menunjukkan pengabaian total rezim terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum,” kata Blinken dalam sebuah pernyataan. “Pengadilan palsu rezim dan eksekusi ini adalah upaya terang terangan untuk memadamkan demokrasi. Tindakan ini tidak akan pernah menekan semangat orang orang pemberani Myanmar,” kata Blinken. Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Jepang, yang selama beberapa dekade mempertahankan hubungan dekat dengan Myanmar mengatakan "sangat menyesalkan" eksekusi.
Jepang memperingatkan tindakan itu akan semakin mengisolasi pemerintah yang dipimpin militer. Seperti diketahui, sejak Junta mengambilalih kekuasaan, Myanmar telah menghadapi serangkaian sanksi dari kekuatan Barat. Bahkan China, yang dilaporkan berusaha melindungi sekutu lamanya di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), meminta para pejabat untuk menyelesaikan konflik dengan benar dalam kerangka konstitusional negara itu.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian juga menegaskan kembali prinsip non intervensi yang telah lama dipegang Beijing. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres juga mengutuk eksekusi pada Senin (25/7/2022), menyebut eksekusi tersebut sebagai "pelanggaran terang terangan terhadap hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan seseorang". Sementara itu, Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk Myanmar, mengatakan dia "marah dan hancur oleh berita itu".
“Tindakan bejat ini harus menjadi titik balik. Apa lagi yang harus dilakukan junta sebelum masyarakat internasional mau mengambil tindakan tegas?,” ujarnya. Amnesty International menuduh militer "meningkatkan represi negara yang mengerikan". Kelompok hak asasi manusia ini memperingatkan bahwa sekitar 100 orang lainnya saat ini berada di hukuman mati setelah dihukum di pengadilan militer.
"Eksekusi ini merupakan perampasan nyawa secara sewenang wenang dan merupakan contoh lain dari catatan hak asasi manusia Myanmar yang mengerikan," kata Direktur Regional Organisasi itu, Erwin van der Borght, dalam sebuah pernyataan. “Keempat pria itu dihukum oleh pengadilan militer dalam persidangan yang sangat rahasia dan sangat tidak adil.” Lebih lanjut, Elaine Pearson, penjabat Direktur Asia di Human Rights Watch, menyebut eksekusi itu sebagai “tindakan kekejaman total”.
“Kebiadaban dan ketidakpedulian junta terhadap kehidupan manusia bertujuan untuk mendinginkan gerakan protes anti kudeta." "Negara negara anggota Uni Eropa, Amerika Serikat, dan pemerintah lainnya harus menunjukkan kepada junta bahwa akan ada pembalasan atas kejahatannya,” katanya. Pakar PBB mengatakan pengadilan yang mendahului eksekusi itu melanggar hukum internasional, sementara Dr Sasa, juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar di pengasingan, mengecam eksekusi tersebut sebagai "aksi teror" terhadap rakyat Myanmar.
“Kami akan membawa para jenderal militer di Myanmar ini ke pengadilan, semua pelaku ini suatu hari nanti akan diadili,” katanya kepada Al Jazeera. Kelompok hak asasi manusia telah menyatakan ketakutannya terhadap pengunjuk rasa dan juru kampanye pro demokrasi lainnya, yang telah ditangkap dalam protes massal di tengah tindakan keras yang meluas oleh pasukan keamanan yang menurut AAPP telah menewaskan lebih dari 2.100 orang. Militer mengatakan jumlah korban tewas dibesar besarkan.
Eksekusi yudisial terakhir di Myanmar umumnya diyakini dilakukan oleh pelaku politik lainnya, pemimpin mahasiswa Salai Tin Maung Oo, pada tahun 1976 di bawah pemerintahan militer sebelumnya yang dipimpin oleh orang kuat Ne Win.